Beberapa saat sebelum Yesus lahir, diutuslah satu malaikat oleh Tuhan untuk meminta pendapat para binatang: Siapa yang kira-kira pantas menjadi pendamping bayi Yesus ketika lahir?
Maka turunlah malaikat tersebut ke Bumi dan dikumpulkannya semua perwakilan binatang, lengkap, tak ada yang kurang (entah bagaimana caranya). Setelah semua perwakilan binatang kumpul, iapun membacakan maklumat Tuhan:
“Wahai para binatang… (aummm, wauwaw…., jawabnya). Tuhan berencana mengutus seorang anak manusia untuk mengangkat derajat para manusia agar layaklah mereka disebut anak-anak Tuhan. Bayi tersebut akan segera lahir. Saya diutus kesini untuk bertanya kepada kalian semua: Siapa yang kira-kira mau dan layak untuk mendampingi Bayi Kudus tersebut?”
Ributlah para binatang. Tiba-tiba terdengar auman singa yang sangat dahsyat bunyinya. Kontan semua binatang mengkirik mendengarnya dan cep klakep tutup mulut semua. Berdirilah raja singa …eh… raja hutan tersebut dengan garangnya. Iapun menjawab pertanyaan malaikat:
“Sudah paduka ketahui, bahwa akulah sang Raja Hutan yang artinya sudah jelas bahwa akulah yang paling kuat dan paling layak menjaga Bayi tersebut. Tak akan ada yang berani mengganggu Bayi tersebut kalau aku yang menjaga. Siapa berani mengganggu akan saya sikat habis, saya acak-acak tubuhnya dan saya santap seperti perkedel! Pilihlah aku, paduka!”
Tak ada seekorpun binatang yang berani membantah, bisa-bisa kena sikat. Mereka diam semua menunggu keputusan malaikat. Malaikat itu menarik napas panjang (weleh…, berarti punya hidung dan paru-paru) lalu menjawab sang raja hutan:
“Terima kasih, raja hutan. Kamu memang keren amat. Percaya deh bakal aman kalau kamu yang menjaga. Tapi… aku pikir semua manusia, bahkan jegernya manusia, juga akan mengkirik melihat tampangmu, apalagi kalau sudah mengaum begitu, dijamin mereka akan kocar-kacir lari tunggang-langgang. Kalau itu yang terjadi, tak akan ada yang berani berdekatan dengan Bayi Kudus itu. Padahal Bayi Kudus itu malahan harus sangat dekat dengan manusia. Jadi aku pikir jangan kamu deh yang jaga, sori ya…”
Legalah para binatang lainnya, tapi mereka tak berani banyak omong, apalagi singa yang kecewa itu mengaum lebih dahsyat lagi sebelum akhirnya menyingkir karena diselentik malaikat. Setelah singa itu pergi, muncullah raja gajah yang luar biasa besarnya. Barangkali dua truk trailer dijadikan satu baru bisa mengangkat tubuhnya. Dengan gaya yang dilembut-lembutkan iapun melangkah menghampiri malaikat. Jalannya yang gontai saja sudah menimbulkan getaran 4 skala richter, kalau ngamuk barangkali sedahsyat gempa Padang. Dengan suara terompet melengking tinggi dan memekakkan telinga iapun mengajukan diri kepada malaikat:
“Pilihlah aku, paduka. Akan kujaga agar penampilanku selalu lembut begini agar orang tidak takut. Tetapi kalau mereka macam-macam ya pasti saya sikat. Masak Bayi Kudus diganggu, maka hamba sebagai pengawalnya sudah pasti bertindak tegas. Saya janjikan bahwa saya akan lebih tegas dari paspamres! Lihat taring saya, paduka.. (sambil mengangkat taring gadingnya yang ruarrr…biasa…panjang dan tajamnya). Akan saya satai yang berani mengganggunya atau saya injak-injak biar gepeng dan saya tendang seperti bola sepak! “Dukk…! Brakkk…!” (sebatang pohon raksasa tumbang ditendangnya). Saya rasa tak ada yang lebih cocok dari saya, paduka, karena bisa lembut atau keras, tergantung situasi. Saya siap, paduka!”
Malaikat geleng-geleng kepala melihat kedahsyatan sang Raja Gajah. Kembali ia menghela napas panjang dan menjawab dengan lembut:
“Bayi yang lahir itu kecil sekali, Gajah. Tentu saja aku kawatir akan terinjak kamu secara tak sengaja. Terpaksa kamupun saya tolak.”
Lemaslah gajah itu, iapun protes dan tidur melintang menghalangi binatang lain yang mau menghadap malaikat. Malaikat tersenyum dan menusuk pantat gajah itu dengan tongkatnya. Akibatnya sungguh luar biasa, gajah tersebut bagai tersengat listrik dan kabur tunggang-langgang. Begitulah satu persatu binatang yang mengandalkan kekuatan dan kebuasannya telah ditolak semua oleh malaikat. Sekarang giliran seekor anjing yang pintarnya luar biasa, sepintar si “Buddy”, anjing yang bintang film itu, datang menghadap. Ia sangat yakin bahwa dirinyalah yang akan terpilih karena tak ada yang lebih pintar dari dia di seluruh jagad binatang. Selain pintar iapun tangkas dan gesit luar biasa. Maka dengan hakul yakin dia mengajukan diri:
“Paduka, saya maklum kalau mereka semua paduka tolak karena tak punya otak! Sayalah binatang paling cerdas diantara semua binatang yang ada. Selain cerdas, saya juga gesit dan tangkas. Masih ada satu hal lagi yang tak perlu paduka sangsikan: saya sangat setia kepada tuan saya. Bayi itu sampai Dia besar kelak akan menjadi tuan saya dan saya akan mengabdikan diri seratus persen untukNya. Saya percaya, sekarang paduka tak punya alasan untuk menolak saya.”
Anjing itu mengopat-ngapitkan ekornya penuh kemenangan, dan semua binatang yang menyaksikanpun memakluminya. Memang dia pantas sekali menjadi pengawal sang Bayi, tak ada satu kekuranganpun tampaknya. Malaikat itu menatap tajam si anjing yang cerdas itu. Ia kagum luar biasa, bukan kepada anjing, tapi kepada Dia yang menciptakannya. Diam-diam hatinya melambungkan pujian kepada Tuhan. Akibat pujian malaikat kepada Tuhan itu sungguh luar biasa: seluruh bunga di hutan tiba-tiba mengeluarkan bau harum semerbak mewangi dan seluruh binatang bersujud karena nalurinya. Lalu berkatalah malaikat itu kepada sang anjing:
“Kamu hampir memenuhi semua syarat yang ada. Tetapi aku ingin bertanya padamu: andaikata kelak Bayi Kudus ini mulai dewasa dan mengajar manusia, apakah yang akan kamu lakukan?”
“Tentu saja hamba tetap berada di sampingNya, mengawalnya kemanapun Dia pergi. Kesetiaanku seratus persen untukNya.”
Malaikat bertanya lagi:
“Kalau karena reputasiNya dan pengaruhNya yang amat besar di dunia manusia lalu banyak orang yang sirik denganNya dan mulai menyerangNya, apakah yang akan kamu lakukan?”
Anjing itu diam sejenak. Dia tak mau mengulangi kesalahan binatang yang lain dalam menjawab. Kalau dia menjawab: “Akan saya serang mereka dan saya cabik-cabik”, pastilah sang malaikat akan langsung menolaknya. Setelah berpikir, iapun menjawab mantap:
“Karena saya cerdas, maka saya akan mencari akal untuk menyingkirkan Tuan saya itu dari orang-orang yang berniat jahat terhadapNya. Naluri hamba bisa diandalkan untuk itu, Paduka.”
Malaikat itu mengelus-elus kepala anjing tersebut dan bicara sangat lembut:
“Anjing yang sangat baik dan cerdas. Ketahuilah olehmu, bahwa Junjunganmu itu tidak mengharapkan kamu terlalu banyak mencampuri urusanNya kelak. Dia sangat tangguh dan mengerti apa yang harus dilakukanNya. Oleh sebab itulah, Dia tidak memerlukan pengawal siapapun juga ketika Dia sudah tumbuh dewasa kelak. Maka dengan sangat menyesal terpaksa kesediaanmu saya tolak.”
Bagai mendengar petir di samping telinganya, anjing itu terlongong dan tak kuasa menahan kekecewaannya. Ia akhirnya menangis sesenggukan dan memohon-mohon kepada malaikat agar dirinya bisa dipilih dan berjanji akan memenuhi semua yang diperintahkan oleh Tuannya kelak. Tapi malaikat tetap menolak dengan amat lembut dan terus mengusap-usap kepala anjing itu. Dari tangannya tersalurkan kasih sayang yang amat besar dan menentramkan hati anjing tersebut, sehingga iapun akhirnya hanya bisa berucap lirih:
“Baiklah, aku menerima keputusanmu, tetapi ijinkanlah aku tinggal di sampingmu sampai usai pemilihan ini. Aku ingin tahu siapa yang akan terpilih.”
“Tak masalah, bersantailah di dekatku. Terima kasih pengertianmu, kau sangat baik dan cerdas.”
Malaikat itu kemudian mengamati semua binatang yang tersisa. Matanya tertuju kepada keledai, sapi dan domba yang dari tadi terus mengunyah rumput dan cuek bebek. Iapun bertanya kepada mereka:
“Sapi dan keledai, kenapa kamu tak mengajukan diri?”
Dengan tergagap dan mengeluarkan semua rumput dari dalam mulutnya, keledai menjawab:
“Hamba jelas tak berani mengajukan diri, paduka. Apalah artinya hamba ini. Dunia manusia sudah sangat hina memandang hamba. Coba paduka dengar kalau manusia mengumpat manusia goblok, pasti mereka akan bilang: ‘Dasar keledai!’ Hamba pasrah saja, paduka, karena hamba memang bodoh dan malas.”
“Kalau kamu, Sapi?”
“Sama dengan keledai, paduka, hamba tak punya kans untuk jadi pengawal Bayi Kudus itu.”
“Kamu, domba dan kambing?”
“Idem, paduka..”
“Apa itu idem?”
“Sama persis, masak malaikat kagak tau…”
“Ohh…, Ok, Ok, tapi justru kalian semualah yang saya rasa tepat mewakili semua binatang yang lain.”
Gemparlah tempat tersebut. Si anjing sampai melompat dari leyeh-leyehnya karena sangat terkejut. Iapun protes keras:
“Paduka, mana mungkin itu? Mana mungkin binatang tolol seperti sapi, lembu, domba dan keledai itu yang terpilih mewakili kami?”
“Sudah kujelaskan pada kalian tadi, bahwa Tuhan tak butuh mahluk yang merasa kuat dan pintar di hadapanNya serta merasa pantas menjadi pelindungNya. Pikirlah oleh kamu, siapa yang lebih kuat, berkuasa dan pintar antara Tuhan dan dirimu? Kalau kamu berhadapan dengan Tuhan, sesungguhnya aku katakan kepadamu, semestinya kamu bersikap lebih tolol dibandingkan sikap keledai itu, karena kenyataannya kamu itu memang sangat tolol!”
Semua binatang yang mendengar manggut-manggut dan merasa malu sendiri, entah kalau manusia yang mendengarnya.
Pastor menyudahi khotbahnya dengan santai, membiarkan umatnya yang tertawa terbahak-bahak. Kisah ini barangkali juga “sejarah” mengapa Yesus akhirnya lahir di kandang domba/sapi (wakakakak…).